Minggu, 15 Mei 2011

PENGAWASAN TERPADU PERBANKAN & DISIPLIN PASAR

Oleh Mirza Adityaswara
altKasus penggelapan dana (frauds) di perbankan Indonesia sedang menjadi sorotan. Untuk kasus frauds yang dilakukan oleh staf Citibank (MD) terhadap nasabah Citigold, kali ini Bank Indonesia menunjukkan ketegasannya.
Citibank dilarang menjaring nasabah baru Citigold selama 1 tahun, sedangkan terhadap kasus meninggalnya nasabah kartu kredit (Irzen Octa), Bank Indonesia memberi sanksi melarang Citibank menjaring nasabah baru selama 2 tahun.
Belum selesai dibicarakan kasus Citibank, telah terjadi kasus frauds di Bank Mega yang mengakibatkan lenyapnya dana yang dimiliki oleh Elnusa. Masyarakat sedang menanti apakah Bank Indonesia juga akan memberikan hukuman kepada pihak Bank Mega.
Perbedaannya dengan kasus Citibank, di kasus Bank Mega tampaknya melibatkan kolusi oknum di pihak nasabah dan di bank. Penegak hukum sedang meneliti kasus tersebut.
Kasus frauds bisa terjadi di bank besar, tapi bisa juga terjadi di bank kecil. Contohnya, pejabat Bank Indonesia akhir minggu lalu mengatakan bahwa sebagian besar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ditutup penyebabnya adalah kerugian akibat kasus frauds.
Kasus frauds di lembaga keuangan tidak hanya terjadi di Indonesia. Masih ingat di akhir 2008 terungkapnya kasus penggelapan dana oleh Bernard Madoff di Amerika Serikat ? Madoff menggelapkan dana ribuan investornya sekitar US$65 miliar. Akhirnya pada 2009 Madoff dihukum 150 tahun penjara.
Mengelola perbankan memang tidak mudah. Semakin besar banknya, semakin kompleks permasalahannya. Selain risiko frauds, masih banyak risiko lain di perbankan. Bank harus memberi kredit agar mendapat penghasilan.
Akan tetapi memberi kredit, ada risiko kredit macet. Jika tidak memberikan kredit, bank akan merugi karena harus membayar bunga kepada penabung. Menjaring dana masyarakat, ada risiko dananya hasil money laundering.
Risiko operasional menjadi santapan sehari hari, yaitu bisa terjadi karena kesalahan nasabah, bisa karena ketidaksengajaan pegawai bank, bisa juga karena gangguan pada teknologi bank, dan sebagainya. Bahkan risiko pasar dalam bentuk gejolak suku bunga dan kurs mata uang dapat membuat kerugian besar pada bank dan menggoyang kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan.
Pimpinan Bank Indonesia minggu lalu mengatakan bahwa ada tiga line of defense dalam pengawasan perbankan, yaitu pengawasan internal, pengawasan oleh auditor, dan pengawasan oleh regulator.
Menurut saya, dari segi urutan nya, seharusnya regulator berada pada urutan nomor dua, bukan nomor ketiga.
Regulator (Bank Indonesia dan Bapepam) memiliki kekuasaan pengawasan lebih kuat daripada auditor kantor akuntan publik. Regulator memiliki kuasa untuk menentukan apakah seseorang atau grup usaha tertentu boleh memiliki lembaga keuangan. Regulator memiliki kuasa untuk menentukan boleh tidaknya seseorang menjadi pengurus lembaga keuangan.
Regulator mempunyai otoritas membuat aturan yang membatasi pemberian kredit kepada grup usaha pemilik bank.
Regulator memiliki kuasa untuk sewaktu waktu masuk melakukan audit ke bank, sedangkan akuntan publik hanya masuk jika dibutuhkan oleh manajemen bank, biasanya itu pun hanya 1 tahun sekali. Saya menambah dua faktor lagi, yaitu pengawasan regulator harus merupakan pengawasan terpadu, dan plus pengawasan oleh pasar keuangan bagi lembaga yang sudah go public.
Pengawasan internal adalah garda paling depan. Pengawasan internal dimulai dari proses rekrutmen pegawai. Menjadikan manajemen risiko sebagai budaya perusahaan adalah hal penting bagi bank. Pegawai pemasaran yang sadar `manajemen risiko' maka dia sendiri akan selalu berhati-hati memilih nasabah dan memasarkan jasa produk perbankan.
Pengawasan atasan kepada bawahan selalu dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mutasi pegawai dan kewajiban mengambil cuti juga merupakan bagian dari pengawasan. Beberapa kasus penyelewengan dana atau kerugian transaksi bidang treasury terungkap pada saat pegawai yang bersangkutan mengambil cuti.
Di luar unit kerja ada unit compliance dan unit internal audit yang juga merupakan bagian dari pengawasan internal bank. Namun, tentunya bank sebagai lembaga bisnis, harus juga ada keseimbangan antara risk management, peningkatan volume bisnis dan kenyamanan nasabah.
Pada era meleburnya produk perbankan dan pasar modal maka pengawasan perbankan harus bersifat terpadu. Para nasabah wealth management dan private banking pada umumnya membeli produk pasar modal yang dikelola oleh perusahaan manajemen investasi.
Terlepas dari jadi tidaknya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kebutuhan melakukan koordinasi antara Bank Indonesia dan Bapepam dalam pengawasan lembaga keuangan menjadi suatu kebutuhan mutlak.
Walaupun Undang Undang Bank Indonesia membatasi kekuasaaan penga wasan Bank Indonesia hanya di perbankan, dan UU Pasar Modal membatas kekuasaan pengawasan Bapepam hany di perusahaan sekuritas dan perusahaan manajemen investasi, tetapi bukan berarti bahwa kedua institusi pengawasan tersebut tidak dapat duduk bersama menyelidiki suatu tindak pelanggaran di perbankan yang terkait dengan produk pasar modal.
Yang diperlukan adalah komitmen dan kerja sama kedua institusi pengawasan tersebut.
Mewajibkan bank menjadi perusahaan publik dengan saham free float minimum 20% merupakan alat pengawasan juga. Harus diakui, governance pasar keuangan juga masih memiliki kelemahan terutama dengan berjatuhannya lembaga keuangan Amerika Serikat pada 2008/2009.
Akan tetapi sisi positifnya, Bank go public dengan saham free float yang cukup maka kinerjanya akan selalu diikuti oleh para investor dan analis pasar keuangan. Alangkah baiknya jika diwajibkan setiap kwartal bank-bank tersebu membuat temu muka analyst meeting.
Walaupun investor dan analis tidak memiliki akses ke pembukuan bank, tetapi manajemen bank akan menjadi lebih berhati-hati menjalankan operasi banknya karena setiap kuartal harus melaporkan kinerjanya kepada investor dan analis.
Maka dari itu sangat disayangkan bank-bank besar yang berstatus go public tetapi free float shares-nya diperbolehkan kecil di bawah 20%, seperti CIMB Niaga, BII, Bank Mega, Bank Ekonomi. Bahkan Bank UOB Buana diperkenankan delisting oleh otoritas pasar modal dan Bank Indonesia pada akhir 2008.
Semoga ada perbaikan regulasi oleh otoritas pasar modal dan Bank Indonesi dalam bidang ini. * Ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

PERSPEKTIF BARU BISNIS & EKONOMI

WARTA EKONOMI
Epson Bidik Pasar Middle-Up dengan L800
PT Epson Indonesia membidik pasar middle-up untuk memperkuat posisinya sebagai produsen printer di Indonesia dengan meluncurkan produk barunya L800. Printer ini yang akan menjawab kebutuhan konsumen dengan kecepatan, volume cetak yang tinggi dan kualitas cetak yang baik tersebut diperkenalkan dalam Epson Press Gathering & Product Launching 2011 pada 14-15 Mei di Bali.

Printer L800 dengan sistem tangki tinta enam warna akan membidik pasar corporate serta SOHO yang menuntut kebutuhan khusus. Sebelumnya, printer Epson telah meraih sukses  dengan meluncurkan Epson L100 dan L200 pada Oktober 2010. Dan produk  barunya ini optimis dapat memperkuat penguasaan pasar yang selama ini didominasinya.
“Pasar Indonesia sangat penting, dan saya pikir bukan hanya Epson saja tetapi perusahaan lain,” ungkap M. Husni Nurdin, Deputy Country Manager PT Epson Indonesia. Apalagi sekarang telah menjadi emerging market yang utama, hal ini dapat dilihat dari GDP yang terus growth 7% dan diestimasikan akan seperti itu sampai 2015, dan GDP per Kapita sudah US$3 ribu, kemudian pemerintah memproyeksikan menjadi US$5 ribu di tahun 2014, lanjut Husni melengkapi pernyataan sebelumnya.
Jika melihat pernyataan tersebut, Epson optimis bahwa pasar di Indonesia akan terus tumbuh dan tentunya akan menyokong pula pada pertumbuhan Epson sebagai produsen yang telah membangun pabriknya di Indonesia sejak lama. Epson menargetkan penjualannya meningkat dari 47% di pasar menjadi 52% pada tahun ini.
Epson mengklaim bahwa perusahaannya merajai pasar printer di Indonesia. Jenis apapun Epson menguasainya. Printer dot metric menguasai pasar 90%, mini printer sebesar 70%, inkjet sebesar 80%, dan beberapa printer lainnya.
Arif Hatta (hatta@wartaekonomi.com)

LINGKUNGAN EKONOMI BISNIS INDONESIA

Lengkap sudah bukti-bukti empiris atas kegagalan kebijakan mekanisme pasar dan politik perdagangan internasional yang semakin terbuka dalam sepuluh tahun terakhir ini. Untuk mengantisipasi terulang kembalinya kejadian yang sama maka Pemerintah disarankan segera menerapkan kebijakan perekonomian pasar yang terkendali, dengan memperhatikan kepentingan ekonomi domestik dan ketahanan nasional.
Gejala kejanggalan atas ketidakmampuan berjalannya mekanisme pasar secara sempurna mulai dirasakan saat gelombang siklus bisnis internasional menggeliat tak beraturan, antara lain dengan gejolak peningkatan harga minyak bumi di atas 100 US dollar. Kemudian terekam juga keanehan dengan meningkatnya harga-harga komoditi internasional seperti CPO, barang tambang dan barang hasil pertanian, yang diminati oleh para pelaku peternak uang skala internasional. Mereka ini semua memburu komoditi non-moneter, karena melemahnya nilai mata uang US dollar yang dipuja-puja sebagai “ benchmark” dalam pola pertukaran barang dan jasa internasional. Dengan terdepresiasinya nilai mata uang US dollar, kegiatan perdagangan internasional kemudian mengarah pada perburuan barang dagangan, yang dikategorikan sebagai komiditi non-meneter yang “likuid” — menggantikan peran mata uang US dollar tersebut. Kejadian ini telah berlangsung dengan demikian cepat, karena dibantu oleh kemudahan-kemudahan pasar komoditi berjangka dan upaya memobilisasi dana internasional untuk tujuan spekulasi. Stok pundi-pundi dana swasta internasional ini sebagian juga dibelanjakan pada produk-produk saham dan obligasi di pasar emerging.
Nah, ceritanya keudian menjadi lucu karena oleh sementara pembuat kebijakan Pemerintah, para pakar ekonomi dan para proponen perdagangan internasional yang bebas di tanah air, booming pasar modal Indonesia yang terjadi sejak awal tahun 2007 sampai dengan awal tahun 2008, mereka anggap sebagai daya tarik tersendiri dari keberadaan kekuatan perekonomian nasional Indonesia. Padahal murid-murid pasca sarjanapun (seperti di MMUI), akan mengerti benar bahwa peristiwa masuknya arus modal panas ke Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang kemudian berganti nama dengan BEI, disebabkan oleh longgarnya peraturan para pengelola BEI dan perbedaan spread tingkat bunga.
Otomatis saat itupun, dilihat dari perpektif konsep ekonomi “Bak Mandi”, cadangan moneter Indonesia dalam bentuk devisa naik berkali-kali lipat. Rupiahpun ikut terkatrol yang secara semu menyebabkan proses menguat nya nilai tukar Rupiah mendekati angka Ro 9200. Tetapi setelah diamati beberapa bulan kemudian, ternyata peningkatan kapitalisasi pasar modal BEI tidak dibarengi dengan adanya peningkatan kapasitas terpasang produksi domestik kita. Terjadilah apa yang disebut “bubble economy” di capital market. Artinya, para emitenpun sebenarnya sadar bahwa peningkatan angka indeks umum saham hanyalah merupakan fatamorgana, yaitu mimpi di siang hari bolong. Kapanpun uang panas ini yang ditanam investor asing di tanah air, dapat mereka tarik kembali. Kesimpulannya, lalulintas uang masuk ke sistem bak mandi perekonomian Indonesia, telah digunakan untuk tujuan meraup keuntungan “capital gain” secara cepat. Dan proses ini dipermudah oleh pengelola Bursa karena tidak dilakukannya tindakan keras atau penalty keberadaan kasus-kasus saham gorengan dan perbuatan tak terpuji dari kegiatan “short selling”.
Sebenarnya daya tahan perekonomian Indonesia sejak kenaikkan harga minyak bumi mendekati 140 US dollar sudah mulai mengendur. Hal ini terbukti dengan ketidak mampuan Pemerintah mempertahankan subsidi minyak bumi. Struktur APBN kitapun seakan menguat yang sebenarnya terselamatkan oleh dikeluarkannya surat hutang obligasi mata uang Republik. Nah jika kita keluarkan posisi cadangan uang panas ini dari neraca moneter Bank Indonesia, maka mata uang kita seharusnya sudah melemah saat kenaikkan harga minyak bumi tersebut. Ditambah dengan gonjang-ganjing politik atas jabatan empuk Gubernur BI kemarin ini telah memperlambat upaya mengantisipasi kemungkinan larinya uang panas dari perekonomian Indonesia.
Tepat pada hari ini kita turut berkabung….. karena pengelola BEI menutup warung dagangannya. Mungkin ditutupnya warung tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan dari kemungkinan melorotnya nilai tukar rupiah secara drastis dari serangan besar-besaran para pemilik modal portfolio asing untuk mencairkan uang mereka. Nah jika hal ini benar akan tercorenglah citra Pemerintah atas kemampuannya dalam menjalankan apa yang sementara ini dipercayainya:yaitu “berjalannya mekanisme pasar secara murni di tanah air”.
Pembelajaran apakah yang kita dapat dari semua ini?
Mengingat likuiditas uang internasional akan semakin ketat, serta perekonomian dunia yang memasuki krisis babak kedua, maka masing-masing negara maju dan berkembang di dunia akan mempertahankan dirinya sendiri demi kepentingan warga negara mereka masing-masing. Buktinya pada saat Pemerintah Amerika meminta bantuan Pemerintahan Negara-Negara G7 untuk berbuat hal yang sama, guna menyelamatkan berjalannya mobilitas keuangan internasional sebagai urat nadi kegiatan perdagangan bebas, ternyata tidak sepenuhnya disambut. Ke depan, negara-negara akan semakin melakukan kebijakan proteksionisme, melupakan sementara hibauan badan WTO untuk program penurunan tarif secara gradual. Memang belum waktunya Teori Perdagangan Internasional secara murni diterapkan dalam kacah globalisasi yang semakin garang dan rakus sekarang ini.
Bagi Pemerintahan Indonesia, mungkin hal ini akan menjadi agenda Kabinet dari Presiden Terpilih 2009, untuk saatnya mulai menerapkan mekanisme pengelolaan pasar modal dan pasar uang yang terkendali. Semua ini ditujukan agar kepentingan pemegang saham dan perekonomian domestik tidak mudah tercabik-cabik oleh ulah para pemilik modal dunia. Proteksionisme untuk komoditi andalan kita, berikut perlindungan untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut hajad hidup Usaha Kecil dan Menengah perlu mendapatkan prioritas utama. Sementara waktu kita perlu agak keras menghadapi perilaku negara maju (dalam kesepakatan-kesepakatan di tingkatan internasional) yang merugikan perekonomian domestik.
(copyrights@aditiawan chandra)