Kasus penggelapan dana (frauds) di perbankan Indonesia sedang menjadi sorotan. Untuk kasus frauds yang dilakukan oleh staf Citibank (MD) terhadap nasabah Citigold, kali ini Bank Indonesia menunjukkan ketegasannya.
Citibank dilarang menjaring nasabah baru Citigold selama 1 tahun, sedangkan terhadap kasus meninggalnya nasabah kartu kredit (Irzen Octa), Bank Indonesia memberi sanksi melarang Citibank menjaring nasabah baru selama 2 tahun.
Belum selesai dibicarakan kasus Citibank, telah terjadi kasus frauds di Bank Mega yang mengakibatkan lenyapnya dana yang dimiliki oleh Elnusa. Masyarakat sedang menanti apakah Bank Indonesia juga akan memberikan hukuman kepada pihak Bank Mega.
Perbedaannya dengan kasus Citibank, di kasus Bank Mega tampaknya melibatkan kolusi oknum di pihak nasabah dan di bank. Penegak hukum sedang meneliti kasus tersebut.
Kasus frauds bisa terjadi di bank besar, tapi bisa juga terjadi di bank kecil. Contohnya, pejabat Bank Indonesia akhir minggu lalu mengatakan bahwa sebagian besar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ditutup penyebabnya adalah kerugian akibat kasus frauds.
Kasus frauds di lembaga keuangan tidak hanya terjadi di Indonesia. Masih ingat di akhir 2008 terungkapnya kasus penggelapan dana oleh Bernard Madoff di Amerika Serikat ? Madoff menggelapkan dana ribuan investornya sekitar US$65 miliar. Akhirnya pada 2009 Madoff dihukum 150 tahun penjara.
Mengelola perbankan memang tidak mudah. Semakin besar banknya, semakin kompleks permasalahannya. Selain risiko frauds, masih banyak risiko lain di perbankan. Bank harus memberi kredit agar mendapat penghasilan.
Akan tetapi memberi kredit, ada risiko kredit macet. Jika tidak memberikan kredit, bank akan merugi karena harus membayar bunga kepada penabung. Menjaring dana masyarakat, ada risiko dananya hasil money laundering.
Risiko operasional menjadi santapan sehari hari, yaitu bisa terjadi karena kesalahan nasabah, bisa karena ketidaksengajaan pegawai bank, bisa juga karena gangguan pada teknologi bank, dan sebagainya. Bahkan risiko pasar dalam bentuk gejolak suku bunga dan kurs mata uang dapat membuat kerugian besar pada bank dan menggoyang kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan.
Pimpinan Bank Indonesia minggu lalu mengatakan bahwa ada tiga line of defense dalam pengawasan perbankan, yaitu pengawasan internal, pengawasan oleh auditor, dan pengawasan oleh regulator.
Menurut saya, dari segi urutan nya, seharusnya regulator berada pada urutan nomor dua, bukan nomor ketiga.
Regulator (Bank Indonesia dan Bapepam) memiliki kekuasaan pengawasan lebih kuat daripada auditor kantor akuntan publik. Regulator memiliki kuasa untuk menentukan apakah seseorang atau grup usaha tertentu boleh memiliki lembaga keuangan. Regulator memiliki kuasa untuk menentukan boleh tidaknya seseorang menjadi pengurus lembaga keuangan.
Regulator mempunyai otoritas membuat aturan yang membatasi pemberian kredit kepada grup usaha pemilik bank.
Regulator memiliki kuasa untuk sewaktu waktu masuk melakukan audit ke bank, sedangkan akuntan publik hanya masuk jika dibutuhkan oleh manajemen bank, biasanya itu pun hanya 1 tahun sekali. Saya menambah dua faktor lagi, yaitu pengawasan regulator harus merupakan pengawasan terpadu, dan plus pengawasan oleh pasar keuangan bagi lembaga yang sudah go public.
Pengawasan internal adalah garda paling depan. Pengawasan internal dimulai dari proses rekrutmen pegawai. Menjadikan manajemen risiko sebagai budaya perusahaan adalah hal penting bagi bank. Pegawai pemasaran yang sadar `manajemen risiko' maka dia sendiri akan selalu berhati-hati memilih nasabah dan memasarkan jasa produk perbankan.
Pengawasan atasan kepada bawahan selalu dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mutasi pegawai dan kewajiban mengambil cuti juga merupakan bagian dari pengawasan. Beberapa kasus penyelewengan dana atau kerugian transaksi bidang treasury terungkap pada saat pegawai yang bersangkutan mengambil cuti.
Di luar unit kerja ada unit compliance dan unit internal audit yang juga merupakan bagian dari pengawasan internal bank. Namun, tentunya bank sebagai lembaga bisnis, harus juga ada keseimbangan antara risk management, peningkatan volume bisnis dan kenyamanan nasabah.
Pada era meleburnya produk perbankan dan pasar modal maka pengawasan perbankan harus bersifat terpadu. Para nasabah wealth management dan private banking pada umumnya membeli produk pasar modal yang dikelola oleh perusahaan manajemen investasi.
Terlepas dari jadi tidaknya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kebutuhan melakukan koordinasi antara Bank Indonesia dan Bapepam dalam pengawasan lembaga keuangan menjadi suatu kebutuhan mutlak.
Walaupun Undang Undang Bank Indonesia membatasi kekuasaaan penga wasan Bank Indonesia hanya di perbankan, dan UU Pasar Modal membatas kekuasaan pengawasan Bapepam hany di perusahaan sekuritas dan perusahaan manajemen investasi, tetapi bukan berarti bahwa kedua institusi pengawasan tersebut tidak dapat duduk bersama menyelidiki suatu tindak pelanggaran di perbankan yang terkait dengan produk pasar modal.
Yang diperlukan adalah komitmen dan kerja sama kedua institusi pengawasan tersebut.
Mewajibkan bank menjadi perusahaan publik dengan saham free float minimum 20% merupakan alat pengawasan juga. Harus diakui, governance pasar keuangan juga masih memiliki kelemahan terutama dengan berjatuhannya lembaga keuangan Amerika Serikat pada 2008/2009.
Akan tetapi sisi positifnya, Bank go public dengan saham free float yang cukup maka kinerjanya akan selalu diikuti oleh para investor dan analis pasar keuangan. Alangkah baiknya jika diwajibkan setiap kwartal bank-bank tersebu membuat temu muka analyst meeting.
Walaupun investor dan analis tidak memiliki akses ke pembukuan bank, tetapi manajemen bank akan menjadi lebih berhati-hati menjalankan operasi banknya karena setiap kuartal harus melaporkan kinerjanya kepada investor dan analis.
Maka dari itu sangat disayangkan bank-bank besar yang berstatus go public tetapi free float shares-nya diperbolehkan kecil di bawah 20%, seperti CIMB Niaga, BII, Bank Mega, Bank Ekonomi. Bahkan Bank UOB Buana diperkenankan delisting oleh otoritas pasar modal dan Bank Indonesia pada akhir 2008.
Semoga ada perbaikan regulasi oleh otoritas pasar modal dan Bank Indonesi dalam bidang ini. * Ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar