Minggu, 05 Juni 2011

Efektifitas Pengendalian Kekuatan Monopoli Pasar: KPPU vs. Temasek

Di akhir bulan Nopember ini kalangan pebisnis di Indonesia sempat dibuat tercengang oleh keputusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang mevonis Temasek Holdings yang diduga telah melanggar aturan persaingan tidak sehat karena telah memiliki saham secara silang di Indosat dan Telkomsel. Silang pendapatpun bermunculan, yang kemudian mengerucut pada dua kubu: yang “pro” pada keputusan otoritas KPUU dan yang “kontra” dengan berbagai keberatan atas landasan pemikiran dan alasan ditetapkannya keputusan tersebut.
KPPU berdalih bahwa kepemilikan silang perusahaan Temasek Holdings Ltd. pada kedua perusahaan tersebut mengakibatkan terbentuknya “kekuatan monopoli” karena konsentrasi pasar yang melebihi 80 persen pada bisnis telpon selular. Ulasan khusus yang disajikan oleh Majalah Tempo (edisi 26 Nov – 2 Des 2007) memaparkan dampak lebih lanjut atas dugaan kedudukan monopoli ini pada kerugian konsumen pemakai jasa selular antara Rp 14,3 triliun hingga Rp 30,8 triliun selama kurun waktu 2003-2006. Jika keputusan ini nantinya memiliki kekuatan hukum yang tetap, jumlah tersebut tentunya merupakan jumlah kerugian pada pihak konsumen yang cukup besar untuk satu jenis kegiatan usaha.
Bahkan menurut KPPU, sebagai lembaga yang diberikan kuasa oleh negara untuk menjaga dan memonitor Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli di Indonesia, imperium perusahaan milik Pemerintah Singapura ini dituding telah melakukan beberapa perilaku kegiatan usaha yang “kurang sehat”. Menurutnya, perusahaan tersebut diterangai telah melakukan 4 kesalahan: masing-masing (a) Kekuatan perusahaanTelkomsel dalam mempengaruhi harga di industri selular, (b) Penetapan harga tarif percakapan Telkomsel yang kelewat mahal, (c) Kebijakan pimpinan perusahaan Indosat yang memperlambat penambahan menara BTS Indosat, dan (d) Tingkat keuntungan yang kelewat tinggi. Semua perilaku perusahaan Indosat dan Telkomsel ini akhirnya diduga mengakibatkan laba bersih perusahaan Telkomsel yang melonjak drastis dari Rp 2,79 triliun menjadi Rp 9,71 triliun pada akhir Juni 2007.
Kontroversi kemudian muncul dengan berbagai alasan yang diutarakan oleh mereka yang temasuk pada kubu yang mengkritik atau menolak keputusan KPPU. Suara yang paling vokal telah dilontarkan oleh Pande Radja Silalahi pada Majalah Trust (Edisi 26 Nov- 2 Des 2007), yang menurutnya vonis KPPU tadi merupakan suatu keputusan yang salah fatal. KPPU yang seharusnya berposisi sebagai wasit tetapi justru turut bermain dalam proses penyelesaian masalah, yaitu dengan menetapkan kewajiban penurunan harga jual Telkomsel sebanyak 15% dan keharusan bagi perusahaan Temasek menjual kembali saham yang dimilikinya maksimal 5% kepada calon pembeli. Bersuara sama dengan apa yang juga dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, KPPU dituding kurang mampu memberikan landasan hukum yang kuat dalam keputusannya tersebut.
Memang menarik landasan argumentasi oleh kedua kubu, yang menurut pengamatan penulis memiliki tingkat kebenarannya masing-masing. Namun, bukan maksud penulis untuk mengupasnya lebih mendalam ranah sengketa hukum yang pelik ini, mengingat secara historis dan konsepsual pelaksanaan pengawasan kekuatan monopoli pasar memang mengandung berbagai permasalahan, sehingga efektifitas pengendaliannya sulit diterapkan secara “proper” dan diterima secara aklamasi oleh para pelaku bisnis umumnya.
Praktek Pengendalian Kekuatan Monopoli
Keputusan KPPU untuk melarang praktek penguasaan pasar oleh para produsen bukan kali ini saja dikeluarkan. Sebelumnya lembaga independen ini telah melakukan larangan serupa pada kasus perusahaan Carrefour, kasus perusahaan BUMN pengerukan, dan berbagai kasus praktek kegiatan bisnis yang “kurang sehat”, seperti dalam proses tender, program pengadaan maupun kasus-kasus penipuan pada para konsumen. Landasan yang digunakannya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sejatinya larangan praktek monopoli ini sudah lama dilakukan oleh beberapa negara maju, termasuk di negara adidaya Amerika Serikat. Kebijakan pengendalian kekuatan monopoli dikeluarkan oleh Pemerintah Federal dari negara tersebut dengan dikeluarkannya Sherman Antitrust Act pada tahun 1890. Dengan ketentuan tersebut maka para pebisnis dilarang untuk melakukan kongkalikong bisnis yang berpotensi merugikan konsumen atau melakukan upaya yang mengarah pada monopoli kegiatan perdagangan antar negara bagian, termasuk monopoli dalam kegiatan ekspor dan impor.
Dalam pelaksanaannya, pembuktian dan penafsiran tingkat pelanggaran oleh kalangan pengusaha dilakukan oleh lembaga pengadilan. Jadi baik Pemeritah maupun lembaga independen lainnya tidak berhak untuk melakukan keputusan secara sepihak. Penafsiran atas suatu “tindakan tidak terpuji” memakan waktu lama, dan baru dapat tuntas disepakati setelah beberapa kasus berbeda di lapangan telah diputus oleh lembaga pengadilan. Sebagai contoh, penetapan tingkat tarif yang dianggap ilegal pada kasus Trans-Missouri Freight Association pada tahun 1898, kemudian berkembang dengan juga melarang praktek tender bodong (collusive bidding) pada kasus Addison Pipe and Steel Company tahun 1899. Penafsiran “kekuatan monopoli” kemudian berkembang dan disepakati pada tahun 1911, yaitu meliputi praktek mengeluarkan ancaman, membuat perusahaan alibaba, dan praktek menyogok pejabat, pada saat badan judisial menyelesaikan kasus monopoli Standard Oil of New Jersey.
Kebingungan atas penafsiran Undang-Undang ini kemudian memuncak karena para pengusaha tidak dapat mengantisipasi terlebih dahulu apakah tindakannya (seperti melakukan kebijakan “predatory pricing”) yang disiasati untuk tujuan meningkatkan daya saing dapat dijerat kemudian oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-Undang. Baru setelah dikeluarkan Clayton Act tahun 1914 dan Robinson Patman Act tahun 1936, ketentuan predatory pricing dilarang sepenuhnya apabila ditujukan untuk mengurangi persaingan atau membentuk kekuatan monopoli. Ketentuan rambu-rambu membentuk mekanisme pasar yang berkeadilan (yaitu tidak mengarah ke monopoli) diperkuat lagi dengan Cellar-Kefauver Act pada tahun 1950, yang melarang proses merger dan akuisisi kepemilikan saham perusahaan lain apabila hanya ditujukan untuk mengurangi persaingan atau cenderung menciptakan kekuatan monopoli.
Dari bahasan ini semakin jelas bahwa Pemerintah melalui mekanisme lembaga pemerintah dan pengadilan niaga sangat memperhatikan bahwa proses “mekanisme pasar bebas” dapat dilakukan, sepanjang para pelaku bisnis dapat juga menjunjung tinggi terselenggaranya pola persaingan usaha yang sehat, dengan menghindari strategi bisnis yang dapat mengarah pada terbentuknya “kekuatan monopoli”. Sengketa dapat saja timbul apabila ketentuan perundang-undangan tidak secara rinci menyatakan tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan dilarang. Uraian berikut akan mengulas konsep teoritis “kekuatan monopoli” dan motif dilakukannya pengaturan pasar oleh Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar