Minggu, 05 Juni 2011

KONSEP KEKUATAN MONOPOLI

Pengendalian “kekuatan monopoli” merupakan antisipasi Pemerintah untuk memperbaiki proses berjalannya mekanisme pasar bebas dengan baik, karena didalamnya terkandung kemungkinan tindakan-tindakan pelaku bisnis yang berpotensi dapat merugikan kepentingan konsumen (Baye,2006). Kegagalan mekanisme pasar ini dapat bersumber dari terbentuknya kekuatan pasar yang merugikan konsumen, yaitu dengan menetapkan tingkat harga jual barang dan jasa jauh di atas kalkulasi biaya marginal dalam proses pengadaan dan proses produksi barang atau jasa tersebut. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Mudah diterka, karena kepincangan pasar dapat diciptakan apabila perusahaan telah menguasai pasar di kelompok industrinya, sehingga para pesaing tidak memiliki kemampuan untuk menambah pasokan barang di pasar dari insentif harga jual yang tinggi ini.
Kekuatan monopoli dapat menghalangi sebagian kelompok konsumen yang ingin mengkonsumsi barang atau jasa perusahaan, tetapi tidak mempunyai daya beli yang cukup akibat penetapan harga yang tinggi. Dalam istilah ilmu ekonomi seluruh kerugian konsumen ini disebut dengan “deadweight loss”. Tetapi dilain pihak masih ada sebagian konsumen dengan daya beli tinggi dapat memperoleh manfaat dari pembelian barang dan jasa tadi. Manfaat ini menurut kelompok konsumen mampu dipersepsikan sebagai kepuasan yang mereka peroleh dengan mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, walaupun tingkat harga jual barang dan jasa yang dipatok produsen adalah relatif tinggi. Menurut istilah ilmu ekonomi hal ini disebut dengan “consumer surplus”.
Bagaimana dengan kepentingan produsen? Tentunya bagi produsen yang menjual barang dan jasa tersebut, mereka akan memperoleh laba usaha. Dalam ilmu ekonomi terdapat 3 tingkatan laba usaha, masing-masing laba normal (normal profit) dan laba maksimal (super normal profit). Yang menjadi sumber sengketa antara Pemerintah dan pengusaha biasanya dipicu oleh tujuan pengusaha mendapatkan laba maksimal dengan menetapkan tarif sedemikian tingginya sehingga patut diduga tindakan ini akan mengorbankan kepentingan konsumen karena menambah areal “deadweight loss”.
Disinilah letak permasalahan sengketa yang terjadi antara KPPU dan kelompok usaha Temasek, yang menurut dugaan KPPU mencapai nilai di atas Rp 14 triliun. Kita masih akan menunggu bagaimana kemudian keputusan pengadilan menyelesaikan sengketa ini. Bagi perusahaan Telkomsel, salah satu jalan keluar adalah membuktikan bahwa laba usaha yang diperoleh masih dalam batas koridor pencapaian laba normal. Jika laba super normal terlampaui dalam jangka pendek, manajemen perusahaan masih perlu menunjukkan bahwa laba tersebut memang diakumulasikan untuk tujuan perluasan jaringan telpon dan pelayanan yang menuntut biaya investasi yang tinggi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengukur tingkat monopoli adalah menggunakan “angka konsentrasi n-perusahaan”, yang diukur dari jumlah volume produksi atau penjualan. Angka yang sering dipakai adalah Angka Konsentrasi 4 perusahaan dan Konsentrasi 8 perusahaan. Kekuatan monopoli terjadi jika angka tersebut melebihi tingkatan 50%. Yang menjadi masalah dari kedua rasio ini adalah bahwa metode tersebut tidak cukup sensitif pada perubahan jumlah produksi dari perusahaan pada kedudukan yang teratas.
Sebagai solusinya diperkenalkan Herfindahl index (Besanko, dkk, 2005). Indeks konsentrasi ini merupakan jumlah pangkat dua pangsa pasar semua perusahaan sejenis yang berada di pasar. Angka di atas 0,6 menunjukkan kondisi yang mengarah pada penguasaan pasar. Kemudian untuk kasus merger dan akuisisi, indeks yang biasa digunakan adalah Herfindahl-Hirschman Index (HHI). HHI merupakan jumlah pangkat dua saham yang dimiliki perusahaan dalam kegiatan sejenis dikalikan dengan 10.000. Kondisi pasar setelah merger dan akuisisi yang mencapai angka indeks dibawah 1000 menunjukkan kondisi tidak terkonsentrasinya pasar, sedangkan angka indeks di atas 1800 menggambarkan kondisi terjadinya kekuatan monopoli.
Kembali pada kasus KPPU vs Temasek, penggunaan “angka konsentrasi n-perusahaan” oleh KPPU perlu dipertanyakan tingkat validitasnya. Karena kasus yang dihadapi adalah akuisisi sebagian kepemilikan saham milik Pemerintah/BUMN maka seyogyanya digunakan Herfindahl-Hirschman Index. Apalagi ini menyangkut masalah kepemilikan silang, sebelum dan sesudah kehadiran perusahaan Temasex.
Terlepas dari aspek tersebut, penulis meragukan penggunaan rasio “kekuatan monopoli”, karena rasio ini tidak dapat mengungkapkan perilaku pengusaha yang dapat secara sepihak atau bersama-sama mensiasati berbagai kecurangan yang mengarah pada kerugian di pihak konsumen. Dan memang metode konsentrasi pasar sudah mulai ditinggalkan banyak negara, dan menggantikan proses pengendalian konsentrasi pasar dengan berbagai memberlakukan ketentuan-ketentuan menyelenggarakan kegiatan usaha secara tertib, beretika dan menjunjung tinggi persaingan secara sehat.
Ketentuan Persaingan Sehat
Peraturan tentang persaingan sehat cukup banyak ragamnya, masing-masing dikeluarkan melalui Undang-Undang tersendiri di berbagai negara maju di dunia. Penelusuran dari informasi yang ada, umumnya negara-negara tersebut mengeluarkan peraturan permainan persaingan usaha yang sehat, dengan melarang hal-hal berikut ini:
1) Larangan melakukan persengkongkolan bisnis yang merugikan pesaing lainnya.
2) Monopoli atau memperoleh hak khusus atas dasar KKN dengan birokrat.
3) Proses tender yang tidak transparan, atau menggunakan perusahaan alibaba.
4) Differensiasi harga pada kelompok bisnis tertentu yang merugikan pihak pesaing.
5) Proses merger dan akuisisi yang ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan.
6) Horizontal dan vertical merger yang mangarah pada dominasi konsentrasi pasar. (Vertical merger untuk tujuan efisiensi dan pengurangan harga jual masih diperbolehkan).
7) Proses produksi, kualitas produk, dan kampanye iklan yang merugikan pihak konsumen.
8) Memberikan informasi tentang produk dan pelayanan yang menyesatkan kepentingan komsumen.
9) Ketentuan-ketentuan lainnya.
Tantangan Kedepan
Pengendalian kekuatan monopoli pasar jika ingin efektif perlu dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang mengikat demi terselenggaranya persaingan kegiatan usaha secara transparan, adil dan tidak merugikan konsumen. Penggunaan angka konsentrasi pasar sudah tidak dapat digunakan untuk menduga terjadinya persaingan yang tidak sehat. Peaturan-peraturan yang mengikat demi tegaknya “persaingan sehat” di negara kita masih harus ditegakkan, karena masih banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para pengusaha domestik di segala ukuran konsentrasi pasar di negara kita yang merugikan konsumen.
Rasio konsentrasi pasar di masa mendatang menjadi tidak dapat digunakan sama sekali pada saat negara kita memasuki tahun 2015, dimana lalulintas barang, jasa dan uang menjadi bebas di kawasan perekonomian Asean. Hal ini merupakan komitmen bersama para pimpinan negara ASEAN termasuk Indonesia.
Contoh kemungkinan mandulnya pengendalian pasar tersebut melalui “rasio konsentrasi n-perusahaan” sudah terjadi pada saat ini. Coba simak sendiri bagaimana malangnya masyarakat konsumen dunia, yang mengalami kerugian maha dahsyad dalam “deadweight loss” — akibat ulah para spekulan dan para pembuat keputusan organisasi kartel produksi minyak bumi dunia OPEC, dimana Indonesia menjadi anggotanya. Bahkan pada pertemuan beberapa bulan yang lalu, Indonesia sebagai anggota kartel yang aktif, menjadi tidak begitu berdaya dihadapan para raja produsen minyak berukuran besar yang serakah. Sejatinya, “consumer surplus” dapat terselenggarakan jika anggota OPEC mau menggelontorkan tambahan pasokan produksi ke pasar dunia. Penulis sangat yakin jika hal ini dilakukan, maka dalam tempo hanya 2 minggu harga minyak dunia dapat turun menjadi di bawah $40 per barelnya. Tetapi ironisnya tidak ada badan KPPU di negara manapun di dunia yang dapat dan berdaya untuk melakukan pengendalian konsentrasi pasar pada sistem perekonomian yang mengglobal. Dan sayang jika solusi konsentrasi pasar ini hanya dapat diatasi melalui adu otot kekuatan armada militer adikuasa.
Dugaan persaingan tidak sehat pada kelompok perusahaan Temasek akan cukup adil dilontarkan, dan tentunya tidak akan menjadi heboh, jika sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang yang mengatur ketentuan-ketentuan strategi bisnis terlarang bagi perusahaan yang melakukan proses merger dan akuisisi. Dengan demikian dunia usaha dapat memperoleh iklim investasi dan kepastian dalam kiprahnya melakukan kegiatan bisnis. Semoga saja kasus sengketa KPPU dan Temasek ini dapat menjadi pembelajaran yang berharga di masa yang akan datang. (copyright@aditiawan chandra).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar